Sahabat
Edukasi yang berbahagia…
Hari
Aksara Internasional (HAI) diperingati setiap tanggal 8 September pada setiap
tahunnya.
Dan
pada tahun 2015 ini, puncak peringatan Hari Aksara Internasional ke-50 ini berlangsung
pada tanggal 22 sampai 24 Oktober 2015 di Karawang, Jawa Barat. Dan untuk acara
pembukaan akan dipusatkan di Lapangan Karang Pawitan, Karawang.
Pada
puncak peringatan, Mendikbud mencanangkan “Gerakan Masyarakat Membaca” di
hadapan warga belajar Paska Keaksaraan Dasar, yang diwakili sebanyak 2.000
orang dari Kabupaten Karawang. Selain itu, Mendikbud juga mencanangkan aplikasi
Dapodik PAUD dan Dikmas.
Sehubungan
dengan peringatan Hari Aksara Internasional ke-50 ini, berikut sambutan resmi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Peringatan Hari Aksara
Internasional Tanggal 24 Tahun 2015, selengkapnya sebagia berikut :
Assalaamu'alaikum
warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, Salam
sejahtera untuk kita semua
Ibu dan Bapak hadirin
yang saya hormati,
Mengawali
sambutan ini, marilah kita senantiasa memanjatkan puji dan syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, atas perkenan rahmat dan hidayahNya, sehingga
kita semua masih dikaruniai kesehatan, kekuatan dan kesempatan untuk terus melanjutkan
pengabdian kita kepada bangsa dan negara tercinta.
Izinkan
saya memulai pembicaraan dengan bertanya sebuah hal sederhana. “Berapa banyak
penduduk kita yang bisa membaca saat para pendiri Republik menyatakan
kemerdekaan?”
Pada
saat kita dengan lantang berteriak merdeka, lebih dari 90 persen penduduk kita
bahkan tak bisa menuliskan namanya sendiri. Maka bayangkan ketika Bung Karno mengatakan,
“Beri saya sepuluh pemuda!” boleh jadi 9 dari 10 pemuda tersebut tak bisa
mengeja namanya.
Fakta
itu boleh jadi mencengangkan, tapi apa yang para pendiri Republik ini lakukan
jauh lebih mencengangkan.
Usaha
melawan ketidakterdidikan telah para pendiri Republik ini gaungkan bahkan
sebelum Republik ini menyatakan kemerdekaannya. Ki Hadjar Dewantara dalam
“Rapat Panitia Adat dan Tatanegara Dahulu” sebelum proklamasi mengatakan, “Sebenarnya dari pihak rakyat sendiri sudah
sejak lama nampak usaha hendak memberantas buta huruf di kalangan rakyat ini.”
Ki
Hadjar kemudian mencontohkan dari Kongres Putri sampai Rukun Tani melakukan
kegiatan pengajaran membaca. Kesadaran akan pentingnya membaca bukan tiba-tiba
hadir hari-hari ini, ia lahir bahkan sebelum proklamasi kita canangkan.
Ikhtiar
itu terus kita bawa jauh setelah proklamasi. Saya ingat sebuah foto Bung Karno
di depan spanduk saat ia bicara di Yogyakarta. Tulisan di spanduk itu tak
seperti biasa. Spanduk itu dimulai dengan sebuah kata, “Bantulah”. Lengkapnya
“Bantulah usaha pemberantasan buta-huruf !”.
Pemerintah membuka
tangannya untuk bekerjasama. Mengajak berkolaborasi. Hasilnya dahsyat!
Gerakan
Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan
semesta di lebih dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar
700 ribu murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus
terbebas dari buta huruf. Republik ini kemudian menjelma dari tak terdidik menjadi
terdidik.
asan
Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno canangkan menjadi gerakan semesta di lebih
dari 18 ribu tempat, melibatkan lebih dari 17 ribu guru dan sekitar 700 ribu
murid. Sampai tahun 1960 Bung Karno menegaskan bahwa Indonesia harus terbebas
dari buta huruf. Republik ini kemudian menjelma dari tak terdidik menjadi
terdidik.
Hadirin yang
berbahagia,
Pekerjaan
rumah bukan berarti telah selesai. Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat
telah mengantar kita pada gerbang keberaksaraan. Tapi, tugas tak selesai sampai
di sini.
Pada
tahun 2010 penduduk Indonesia usia 15-59 tahun yang melek aksara sekitar 95,21
persen. Angka ini kemudian naik pada tahun 2014 menjadi sebesar 96,3 persen.
Angka tersebut menunjukkan keberhasilan kita memenuhi target Deklarasi Dakar
tentang Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau Education
for All (EFA) bahwa Indonesia dapat menurunkan separuh penduduk tuna aksara
menjadi kurang dari 5 persen pada 2015. Tapi angka itu juga berarti masih ada
sekitar 5,9 juta orang yang belum mampu mengeja dan menulis namanya sendiri.
Saat
ini tercatat sebanyak 8 provinsi yang persentase tuna aksaranya masih di atas 5
persen. Angka-angka itu bukan sekadar deretan statistik buta huruf. Angka itu
memberi pesan nyaring belum semua warga negeri ini bisa menuliskan “Indonesia”
dalam secarik kertas.
Tantangan
aksara bukan sekadar bisa membaca, tantangan keberaksaraan lebih besar dari
itu. Jika kita lihat dalam konteks itu, maka bisa jadi angka “buta aksara” kita
masih mengkhawatirkan.
Taufik
Ismail, salah satu sastrawan kita, pada saat menerima Habibie Award tahun 2007
mengatakan bahwa kita masih diselimuti oleh “Generasi Nol Buku”. Generasi yang
tak membaca satu pun buku dalam satu tahun. “Generasi yang rabun membaca dan
lumpuh menulis.”
Kekhawatiran
Taufik Ismail itu bukan kekhawatiran kosong belaka, sastrawan besar kita Buya
Hamka pernah mengatakan, “Setiap insan
perlu membaca buku, sebab pena seseorang tidak akan berisi kalau sekiranya dia kurang
membaca”.
Pernyataan
Taufik Ismail dan Buya Hamka seperti sebuah lonceng atas data Programme for International Student Assessment
(PISA) tahun 2012 yang menyatakan bahwa kemampuan literasi (membaca dan
menulis) siswa Indonesia jauh tertinggal. Indonesia jauh tertinggal.
Maka
tugas kita jelas, “Generasi Nol Buku” ini harus kita ubah!
Keberaksaraan
bukan sekadar mengubah yang tak bisa membaca menjadi bisa membaca, tetapi juga
mendorong yang bisa membaca untuk terus membaca. Menjadi generasi yang
menjelajah lewat aksara yang ia baca. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita
bersama akan mengubah keadaan “Generasi Nol Buku” ini?
Ibu dan Bapak yang
saya hormati,
Gerakan
Pemberantasan Buta Huruf (PBH) yang Bung Karno dan seluruh elemen masyarakat
lakukan beberapa dekade silam sesungguhnya bukan hanya sebuah usaha mengurangi
angka buta aksara. Gerakan ini mengirimkan satu pesan tegas pada kita semua.
Secara
konstitusional pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, tapi secara moral
pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang yang terdidik. Maka kita harus
mengubah perspektif dalam mendorong kualitas keberaksaraan kita. Meningkatkan
keberaksaraan adalah gerakan bersama.
Pemerintah
dalam hal ini Kemdikbud terus berikhtiar meningkatkan kualitas keberaksaraan
kita. Kita juga mendorong percepatan
program keberaksaraan pada daerah-daerah yang memiliki angka tuna aksara tinggi.
Melalui “Afirmasi Pendidikan Keaksaraan Untuk Papua” (APIK PAPUA) kita
melakukan percepatan peningkatan keberaksaan di daerah Papua.
Ikhtiar
untuk meningkatkan keberaksaraan juga kita lakukan melalui Permendikbud No. 23
tahun 2015 mengenai Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). Salah satu poin utama dalam
Permendikbud tersebut adalah semua warga
sekolah baik siswa, guru, tenaga pendidikan, dan kepala sekolah wajib membaca
buku selain buku teks pelajaran selama 15 menit sebelum hari pembelajaran.
Tujuannya
jelas yakni menggiatkan budaya membaca
dan menghapus “Generasi Nol Buku”. Tantangan keberaksaraan kita kini tentu
berbeda dengan tantangan ketika kemerdekaan. Kita tak hidup dalam ruang vakum,
maka persaingan dan tantangan era ini juga penting untuk kita jawab.
Salah
satu kompetensi yang perlu kita dorong adalah manusia Indonesia yang memiliki
kompetensi global dengan pemahaman akar rumput. Kemampuan berbahasa dan
keberaksaraan adalah kendaraan bagi kita untuk menjawab kebutuhan manusia
Indonesia masa depan.
Maka
salah satu kompetensi yang harus kita siapkan adalah kemampuan berbahasa dan
berkomunikasi untuk pergaulan di level global dan akar rumput. Minimal ada tiga bahasa yang harus kita kuasai yakni
Bahasa Indonesia, bahasa internasional, dan bahasa daerah.
Saya
sengaja menggunakan istilah bahasa internasional bukan sekadar Bahasa Inggris
karena ini sangat tergantung dengan komunitas internasional mana yang sesuai
dengan kebutuhan masing-masing orang. Lewat bahasa internasional kita berkawan
dengan komunitas global. Melalui bahasa daerah adalah kita memahami ragam
kultur daerah, memahami akar rumput kita, dari mana kita berasal.
Menjawab
tantangan keberaksaraan di era ini tentu tak bisa kita lakukan dalam satu dua
malam. Perlu kerja ekstra keras dan konsisten dari setiap kita untuk mewujudkannya.
Tugas kita bersama bukan meratapi keadaan yang ada, tugas kita bersama menjadi
bagian dari solusi!
Ibu dan Bapak hadirin
yang saya hormati, irin yang saya hormati,
Tentu
menjadikan keberaksaraan sebagai gerakan bersama adalah ikhtiar kita bersama.
Yang perlu kita jawab bersama adalah apa saja langkah-langkah konkret yang bisa
kita lakukan untuk meningkatkan keberaksaraan?
Setiap orang bisa
ikut berkontribusi dengan langkah-langkah konkret berikut ini:
Pertama, setiap orangtua perlu mengenalkan aksara sejak
dini. Mengenalkan aksara bukan berarti langsung kita mulai dengan
mengajarkan membaca dan menulis.
Perkenalan
pertama anak-anak kita pada aksara adalah dengan merangsang ketertarikannya
pada bacaan. Orangtua bisa membacakan cerita untuk anak-anaknya. Praktik baik
yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan alokasi waktu khusus membacakan
cerita untuk anak.
Membacakan
cerita mungkin terkesan sederhana. Tapi dari sana anak-anak kita akan
berimajinasi. Ia akan tahu bahwa lewat aksara dirinya bisa mengenal dunia.
Kedua, sekolah perlu membuka diri menjadi agen perubahan keberaksaraan. Bagaimana
caranya? Caranya adalah dengan berkolaborasi bersama warga sekitar untuk mengelola
kegiatan membaca baik di perpustakaan atau fasilitas membaca yang sudah ada.
Perpustakaan
sekolah perlu lebih terbuka dengan memberikan akses pada warga sekitar untuk
ikut membaca dan beraktivitas di sana. Warga sekitar juga bisa berperan aktif
menghidupkan perpustakaan dengan ikut bertukar bacaan, mengadakan kegiatan
literasi bersama siswa dan guru di sekolah dengan melibatkan pegiat sastra
lokal.
Lewat
keterbukaan dan kolaborasi itu sekolah dan warga juga bisa ambil peran dengan
menjadi balai pemberantasan buta aksara. Guru, kepala sekolah, warga, atau
siswa berkolaborasi dengan pemangku kepentingan daerah bisa bergantian mengajar
membaca bagi warga yang belum bisa baca tulis.
Perpustakaan
dan sekolah yang lebih terbuka dan bersahabat adalah langkah penting
menumbuhkan kecintaan aksara di lingkungan kita. Perpustakaan boleh sederhana,
tapi kegiatan di dalamnya menghasilkan manfaat bagi banyak warga!
Untuk
guru, saya berpesan satu hal, jadilah inspirator membaca. Jika guru aktif
membaca maka muridnya pasti gemar membaca! Tugas kita adalah menimbulkan dan menumbuhkan
kecintaan membaca. Kebiasaan membaca tumbuh karena kecintaan bukan karena
paksaan.
Ketiga, ambil peran aktif dalam kegiatan menulis. Membaca dan menulis adalah padu padan
roda peradaban. Lewat membaca, manusia menjelajah dunia tanpa batas, dengan
menulis penjelajahan tersebut akan kita lestarikan.
Maka
semua warga sekolah perlu mengaktifkan kegiatan menulis. Aktifkan majalah
dinding sekolah, buat resensi atas buku yang warga sekolah baca, dan latih kemampuan
menulis baik dengan praktik langsung atau melalui diskusi-diskusi sederhana di
sekolah.
Upaya-upaya
tersebut adalah praktik-praktik sederhana yang bisa kita lakukan. Kita percaya
bahwa masingmasing kita punya beragam praktik baik yang bisa menjadi inspirasi.
Saya
minta bagikan dan ceritakan praktik baik keberaksaraan yang sudah ibu dan bapak
lakukan. Biarkan praktik baik itu jadi inspirasi untuk meningkatkan keberaksaraan
di titik-titik penjuru negeri ini!
Ibu
dan Bapak hadirin yang saya hormati,
Pada
kesempatan yang berbahagia ini, izinkan Saya menyampaikan rasa prihatin kepada
masyarakat Indonesia yang tengah mengalami musibah bencana asap akibat
kebakaran hutan di beberapa wilayah dibumi kita tercinta ini. Sesuai pesan
Bapak Presiden RI, Kepada para Kepala Daerah yang wilayahnya terdampak bencana
asap, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah harus aktif terjun langsung ke
lapangan memimpin pengendalian kebakaran dan mengatasi dampak kabut asap.
Bila
kualitas udara sudah melebihi angka toleransi, Presiden RI menginstruksikan
kepada Mendikbud agar menghentikan kegiatan pendidikan dan menyesuaikan standar
pendidikan yang terhenti tersebut.
Presiden
menggarisbawahi bahwa kebakaran hutan ini adalah masalah kita bersama. Untuk
itu, Presiden mendukung berbagai bentuk inisiatif gerakan dalam masyarakat
untuk terlibat langsung dalam memadamkan api maupun dalam mengatasi dampak
kabut asap.
Ibu dan Bapak hadirin
yang saya hormati,
Akhirnya
sebagai penutup sambutan ini, Saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi
kepada Gubernur Jawa Barat dan Bupati Karawang serta seluruh masyarakat Jawa
Barat yang telah bersedia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Aksara
Internasional Tingkat Nasional Tahun 2015.
Saya
ucapkan selamat dan penghargaan kepada para Gubernur/Bupati/Walikota yang
mendapatkan Anugerah Aksara tahun ini, atas komitmen yang tinggi dalam menurunkan
angka tuna aksara di wilayahnya. Ucapan selamat juga kepada para pimpinan
lembaga/organisasi penyelenggara program PAUD dan Dikmas yang meraih juara
lomba satuan PNF berprestasi, yang telah ikut mensukseskan gerakan nasional
percepatan penuntasan tuna aksara dan gerakan berkolaborasi dengan masyarakat.
Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala upaya dan usaha kita dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa sesuai dengan cita-cita kemerdekaan kita.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Karawang,
24 Oktober 2015
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan,
ANIES BASWEDAN
Download
file sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam
rangka Memperingati Hari Aksara Internasional (HAI) ke-50 pada Tanggal 24 Tahun 2015,
silahkan unduh langsung dari links sumber artikel ini dengan klik pada tautan berikut. Semoga bermanfaat dan
terimakasih… Salam Edukasi…!
0 Komentar di "Sambutan Mendikbud Pada Peringatan Hari Aksara Internasional Ke-50 Tahun 2015"
Posting Komentar